Selasa, 13 Januari 2009

RUU ITE, Rekam Medis Elektronik, Distribusi Informasi

Disahkannya Rancangan Undang-undang Informasi & Transaksi Elektronik (RUU ITE) menjadi UU ITE memberi makna berarti. Terutama pada penerapan rekam medis (medik) elektronik bidang kesehatan-kedokteran & distribusi informasi umumnya.

Diperbaharui 6 Mei 2008, UU ITE telah diberi nomor: UU ITE No. 11 tahun 2008.

UU ITE bagi Rekam Medis (Medik) Elektronik

Dasar hukumnya menjadi lebih jelas. Terutama terkait dengan pasal 5-12 pada Bab III tentang Informasi, Dokumen dan Tanda Tangan Elektronik.

Untuk lebih jelasnya silakan membaca tulisan dr. Billy N. yang berjudul Rekam Medik Elektronik di Indonesia pasca Pengesahan UU ITE.

Mungkin Pak Anis Fuad (yang baru memulai blog kembali, lalu menyadari tulisannya dibajak [lagi]) akan melengkapi dari sudut pandang beliau. :)

Sertifikasi Elektronik

Menurut pasal 9 & 10 :

Pasal 9

Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.

Pasal 10

(1) Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan.

(2) Ketentuan mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi Keandalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Untung tidak mengatur bahwa pengelola blog (non bisnis [?]) tidak boleh anonim & harus disertifikasi juga… :)

Nama Domain, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) & Distribusi Informasi

Pasal 23-26 pada Bab VI tentang Nama Domain, Hak Kekayaan Intelektual, dan Perlindungan Hak Pribadi cukup membuat pemarkir nama domain, penyebar pembajakan dan pengelola blog ‘vokal™’ / ‘peblog bloger negatif™’ was-was (jangan dikutip..(lagi)).

Bab VII tentang Perbuatan yang Dilarang mungkin menjadi yang paling banyak dibicarakan.

Pasal 27 berhubungan dengan distribusi bermuatan kesusilaan (termasuk situs web / blog p0rno), perjudian, penghinaan, pencemaran nama baik, pemerasan, pengancaman.

Pasal 28 berhubungan dengan pembohongan & penyesatan informasi serta distribusi informasi bermuatan suku, agama, ras, antargolongan (SARA).

Peretas, penyadap, pembobol informasi berhubungan (terutama) dengan pasal 30 & 31.

Pembajakan perangkat keras dan lunak, kode akses, kata sandi diatur pada pasal 33.

Sudut pandang hukum tentang distribusi informasi dibahas di tulisan Mengatur ‘Hacking’ hingga HKI.

UU ITE sebagai hukum siber atau cyber law (hukum telematika; hukum teknologi informasi; hukum dunia maya; hukum mayantara) akan menjadi acuan penyelesaian masalah hukum yang melibatkan pertukaran informasi di Internet, termasuk bidang kesehatan-kedokteran. Akan memberi perlindungan hukum yang lebih jelas pula jika diterapkan dalam peresepan elektronik (ePrescribing). :)

Aspek Hukum Rekam Medik (di Indonesia)

Dengan semakin berkembangnya dunia kesehatan di Indonesia, rekam medik mempunyai peranan tidak kalah pentingnya dalam menunjang pelaksanaan Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Rekam medik sangat penting selain untuk diagnosis, pengobatan juga untuk evaluasi pelayanan kesehatan, peningkatan efisiensi kerja melalui penurunan mortalitas & motilitas serta perawatan penderita yang lebih sempurna. Rekam medik harus berisi informasi lengkap perihal proses pelayanan medis di masa lalu, masa kini & perkiraan terjadi di masa yang akan datang.
Kepemilikan rekam medik sering menjadi perdebatan di kalangan kesehatan, karena dokter beranggapan bahwa mereka berwenang penuh terhadap pasiennya akan tetapi petugas rekam medik bersikeras mempertahankan berkas rekam medik di lingkungan kerjanya. Di lain pihak, pasien sering memaksa untuk membawa atau membaca berkas yang memuat riwayat penyakitnya. Hal ini menunjukan bahwa rekam medik sangat penting. Sebenarnya, milik siapa rekam medik itu?
Rekam medik yang lengkap & cermat adalah syarat mutlak bagi bukti dalam kasus kasus medikolegal. Selain itu, kegunaan rekam medik dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain:
- Aspek administrasi: Rekam medik mempunyai arti administrasi karena isinya menyangkut tindakan berdasarkan wewenang & tanggung jawab bagi tenaga kesehatan.
- Aspek medis: Rekam medik mempunyayi nilai medis karena catatan tersebut dipakai sebagai dasar merencanakan pengobatan & perawatan yang akan diberikan.
- Aspek hukum: Rekam medik mempunyai nilai hukum karena isinya menyangkut masalah adanya jaminan kepastian hukum atas dasar keadilan dalam usaha menegakkan hukum serta bukti untuk menegakkan keadilan.
- Aspek keuangan: Rekam medik dapat menjadi bahan untuk menetapkan pembayaran biaya pelayanan kesehatan.
- Aspek penelitian: Rekam medik mempunyai nilai penelitian karena mengandung data atau informasi sebagai aspek penelitian & pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan.
- Aspek pendidikan: Rekam medik mempunyai nilai pendidikan karena menyangkut data informasi tentang perkembangan kronologis pelayanan medik terhadap pasien yang dapat dipelajari.
- Aspek dokumentasi: Rekam medik mempunyai nilai dekumentasi karena merupakan sumber yang harus didokumentasikan yang dipakai sebagai bahan pertanggungjawaban & laporan.
Rekam medik mempunyai arti sebagai keterangan baik tertulis maupun rekaman tentang indentitas, anamnesis, penentuan fisik, pemeriksaan laboratorium/radiologi, diagnosis, segala pelayanan & tindakan medis yang diberikan kepada pasien baik pelayanan rawat jalan, rawat inap, maupun pelayanan gawat darurat yang diberikan kepada pasien.
Oleh karena itu rekam medik mempunyai makna yang lebih luas selain kegiatan pencatatan tapi juga sistem penyelenggaraan rekam medik. Penyelenggaraan rekam medik adalah proses yang dimulai pada saat pasien mulai masuk perawatan di saran pelayanan kesehatan, data medik selama pelayanan medis dilanjutkan dengan penanganan berkas rekam medik meliputi penyelenggaran & penyimpanan.
Di dalam sistem hukum Indonesia, dikenal istilah ‘kebendaan’ yang meliputi pengertian:
1. Barang (benda bertubuh, benda berwujud) yaitu benda visual, baik bergerak maupun tidak bergerak seperti tanah gedung, hewan, mobil dll.
2. Hak (benda tak bertubuh, benda tak berwujud) yaitu benda non visual seperti piutang, program komputer dll.
Rekam medik menurut Terminologi Hukum Indonesia bisa digolongkan sebagai benda atau barang (benda berwujud). Berkas rekam medik adalah milik sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isinya adalah milik pasien.
Menurut Pasal 47 (1) UU no.29/2004: “Dokumen rekam medik sebagaimanan dimaksud dalam Pasal 46 (1) UU no.29/2004 merupakan milik dokter, dokter gigi atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medik milik pasien.”
Dalam pelaksanaan rekam medik, baik kegiatannya, pencatatan & penyimpanan diatur dalam UU no.29/2004, Permenkes no.269/2008, & standar prosedur yang dibuat sarana pelayanan kesehatan, juga sesuai dengan etika kedokteran Indonesia. Jadi, jelas bahwa rekam medik tidak boleh keluar dari sarana pelayanan kesehatan.
Sedangkan bagi pihak ketiga seperti keluarga, kuasa hukum, asuransi, polisi, perusahaan, & pengadilan bila ingin memiliki rekam medik tidak dapat dengan bebas, tetapi harus melalui prosedur dengan memperlihatkan surat kuasa (tertulis) dari pasien untuk meminta isi rekam medik & pasien betul-betul dalam keadaan sadar mengetahui permintaan itu dengan segala konsekuensi terbukanya rahasia mengenai dirinya, karena isi rekam medik bukan untuk konsumsi masyarakat bebas.
Tetapi apabila pasien telah meninggal dunia, & yang meminta salinan rekam medik adalah kuasa hukum dari keluarga pasien, maka hal itu tidak boleh diberikan. Hal ini mengingat bahwa pasien yang telah meninggal tidak dapat mewariskan isi rekam medik kepada keluarganya karena isi rekam medik bukanlah barang yang dapat diperjualbelikan & diwariskan, di samping adanya sumpah dokter yang harus merahasiakan keadaan pasien bahkan walaupun pasien itu telah meninggal dunia. Yang harus menjadi patokan adalah surat persetujuan untuk memberikan informasi (isi rekam medik) yang ditandatangani oleh pasien, selalu diperlukan untuk setiap pemberian informasi dari rekam medik.

Dapat disimpulkan:
- Dokumen rekam medik adalah milik sarana pelayanan kesehatan
- Isi rekam medik adalah milik pasien & dibuat oleh dokter atau dokter gigi yang memberikan pelayanan kepada pasien tersebut
- Rekam medik harus disimpan & dijaga kerahasiaannya oleh dokter, dokter gigi, & pimpinan serta staf dari sarana pelayanan kesehatan
- Isi rekam medik hanya boleh diketahui oleh pasien atau orang tuanya (dalam hal ini apabila pasien belum dewasa). Pihak lain (termasuk keluarga, kuasa hukum pasien, perusahaan, atau asuransi kesehatan) dapat mengetahui isi rekam medik apabila pasien mengizinkan secara tertulis & sadar akan risiko diketahui rahasia dirinya oleh orang lain.
- Bila pasien telah meninggal, maka rekam medik & isinya tidak boleh diberikan kepada siapapun termasuk ahli warisnya.

Rabu, 07 Januari 2009

Ketika Medical Records Tak Lagi Jadi Rahasia

Media berlomba-lomba menyajikan, menguraikan, dan mempublikasikan penyakit yang diderita mantan Presiden Soeharto. Catatan medis seolah kehilangan kerahasiaannya.

Rasa ingin tahu masyarakat terhadap kondisi kesehatan mantan Presiden Soeharto berimbas pada pemberitaan. Media berlomba-lomba menyajikan perkembangan waktu demi waktu, dengan melakukan liputan langsung ke RS Pertamina Pusat. Apa jenis penyakit Pak Harto, apa saja organnya yang mengalami disfungsi, alat Bantu apa yang dipakai, semua dibeberkan dengan vulgar.

Uniknya, tim dokter pun ikut blak-blakan mengungkap rahasia si pasien. Di depan tatapan mata ratusan jurnalis, tim dokter menjelaskan panjang lebar kondisi kesehatan Pak Harto. Mulai keluhan sesak nafas hingga proses hemofiltrasi (mengeluarkan cairan sekaligus cuci darah) dengan alat yang dinamai continuous veno-venous hemodialysis. Mardjo Subiandono, ketua tim dokter, menjawab satu persatu pertanyaan jurnalis.

Tetapi bisakah catatan medis seorang pasien dibuka sedemikian vulgar? Kalau ya, siapa yang berhak mengungkapkannya? Untuk kepentingan apa? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul hingga peneliti LIPI Asvi Warman Adam menuangkan kegundahannya dalam sebuah tulisan di media online. “Mana ad adi Eropa dan Amerika Serikat rahasia kesehatan presiden dibeberkan sedemikian terbukanya bagi umum. Tatkala meninggal, barangkali rakyat hanya tahu bahwa sang presiden wafat karena serangan jantung. Sangat sederhana. Tidak demikian detailnya seperti yang ditampilkan di lacar kaca dalam kasus mantan Presiden Soeharto,” begitu antara lain kritik Asvi.

“Mantan Presiden RI yang berkuasa terlama itu seakan ditelanjangi di depan publik serta dipreteli daging dan tulangnya, kemudian dianalisis kelemahan organ tubuhnya,” lanjut Asvi dalam tulisan berjudul ‘Kritik Terhadap Pengacara Soeharto’.

Sulit mengatakan bahwa dokter Mardjo Subiandono dan anggota tim dokter lain tak paham sifat kerahasiaan catatan medis (medical records) pasien. Peraturan Menteri Kesehatan No. 749A/Menkes/Per/XII/1989 sudah memberi petunjuk yang jelas. “Rekam medik merupakan berkas yang wajib dijaga kerahasiannya”. Begitu isi pasal 11 Peraturan yang dikeluarkan semasa Menteri Kesehatan Adyatma itu. Disebutkan pula, isi rekam medik adalah milik pasien, meskipun berkasnya disimpan di sarana pelayanan kesehatan.

Mengungkapkan isi medical records, termasuk rekam medik Soeharto, ke hadapan publik tidaklah seratus persen terlarang. Ada dua pihak yang diberi hak memaparkan isi rekam medik seseorang. Pertama, dokter yang merawat pasien. Syaratnya? Seorang dokter boleh memaparkan catatan medis setelah mendapat izin tertulis dari pasien. Kedua, pimpinan sarana pelayanan kesehatan tanpa seizin pasien asalkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Misalnya demi kepentingan pengadilan. Sebab, rekam medik dapat dipakai sebagai bahan pembuktian dalam perkara hukum.

Lantas, bagaimana dengan pemaparan rekam medik Soeharto? Dua anggota tim pengacara Soeharto, OC Kaligis dan Juan Felix Tampubolon tak mempersoalkan. “Kalau keluarga setuju, kerahasiaan itu hilang,” tandas Kaligis.

Soal ada tidaknya kuasa atau izin dari pasien, penjelasan Juan Felix lebih terang. Kata dia, kliennya memperbolehkan catatan medis didisclose ke masyarakat. Persetujuan itu dapat dirujuk ke tahun 2000 ketika Pak Harto terkena stroke. Saat itu muncul simpang siur di masyarakat. Akhirnya, kata Juan Felix, Pak Harto memberikan izin catatan mediknya dibuka ke publik. “Izin itu hingga sekarang belum dicabut,” ujarnya.

UU Praktek Kedokteran

Selain pada Permenkes di atas, soal rekam medik juga disinggung sedikit dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Tetapi pada hakekatnya tidak ada perubahan aturan. Dalam menjalankan praktek, setiap dokter wajib membuat rekam medik. Rekam medis itu harus disimpan dan dijaga kerahasiannya oleh dokter dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan. Kalau dokter sengaja tak membuat rekam medis, ia bisa didenda Rp50 juta atau terancam kurungan satu tahun.

Rekam medis menurut UU ini adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang diberikan kepada pasien. Kalau terjadi kesalahan dalam melakukan pencatatan pada rekam medis, maka berkas dan catatan itu tidak boleh dihilangkan atau dihapus dengan cara apapun. Perubahan hanya bisa dilakukan dengan pencoretan dan dibubuhi paraf petugas bersangkutan.